Kamis, 20 Oktober 2011

Bid'ah pada hari jum'at

Sesungguhnya di antara perkara yang wajib diilmui adalah bahwasanya mengenal bid’ah-bid’ah yang disusupkan dalam agama ini merupakan perkara yang teramat penting. Hal ini dikarenakan taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang dilakukan oleh seorang muslim tidak akan sempurna, kecuali dengan menghindarinya.

Hal itu (menghindari bid’ah) tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan mengenali masing-masingnya bila ia tidak mengenal kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya. Jika tidak demikian maka ia akan terjatuh ke dalam bid’ah dalam keadaan ia tidak menyadarinya.

Dengan demikian perkara itu (mengenali bid’ah) termasuk dalam bab MAA LAA YAQUUMUL WAJIB ILLA BIHI FAHUWA WAJIB (Perkara yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan perkara tersebut maka ia menjadi wajib), sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama Ushul -semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala merahmati mereka semua.

Maka menjadi tetaplah bahwasanya mengenali bid’ah merupakan perkara yang mesti. Yaitu agar peribadatan seorang mukmin menjadi bersih dari bid’ah yang bisa menghilangkan kemurnian ibadah kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dengan demikian bid’ah adalah salah satu kejahatan yang wajib dikenali bukan untuk dilakukan, akan tetapi untuk dihindari sebagaimana pernyataan penxair:

“Aku mengenali kejahatan bukan untuk melakukan kejelekan itu, tetapi untuk menghindarinya
Barangsiapa yang tidak mengenal kejelekan di antara kebaikan maka ia akan terjatuh ke dalam kejelekan itu.”

Berikut ini kami sampaikan bid’ah-bid’ah yang sering diamalkan kaum muslimin pada hari Jum’at, yaitu:

1. Beribadah dengan tidak bersafar pada hari Jum’at. [1]

2. Menjadikannya sebagai hari libur. (Al Ahyaa: 169)

3. Berhias dan bersolek dengan sebagian perkara maksiat seperti mencukur jenggot, mengenakan sutera, dan emas.

4. Meletakkan sajadah atau semacamnya di masjid sebelum menghadiri shalat Jum’at. [2] (Al Madkhal, 2/124)

5. Souvenir hari Jum’at dan berbagai macamnya. (Al Madkhal, 2/258-259, Al Ibda’ fii Madharil Ibtida’ hal. 76, dan Majalah Al Manar, 31/57)

6. Mengumandangkan adzan secara berjamaah pada hari Jum’at. (Al Madkhal 2/208)

7. Adzan yang dilakukan oleh sejumlah mu’adzin bersamaan dengan mu’adzin yang rawatib pada hari Jum’at di bagian tengah masjid. (Al Ikhtiyarat Al ‘Ilmiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal. 22)

8. Menambahkan orang pada adzan kedua yaitu dengan diadakan satu orang mu’adzin lagi di atas bangunan yang datar seakan sebagai penjawab bagi mu’adzin yang satu. (Al Ibda’, 75 dan Al Madkhal 2/208)

9. Mu’adzin naik ke menara pada hari Jum’at setelah adzan pertama untuk menyerukan penduduk kampung agar menghadiri shalat Jum’at guna menyempurnakan jumlah menjadi 40 orang! (Ishlah al Masajid min Al Bida’ wa Al ‘Waa-id, 64 – terbitan kami.)

10. Membagikan kotak amal ketika orang-orang telah berkumpul untuk shalat Jum’at. Bila sedang adzan, orang yang memisah-misahkan itu berdiri untuk mengumpulkan apa yang telah ia sebarkan. (Al Madkhal 2/223)

11. Membolehkan orang shalih melangkahi pundak-pundak orang pada hari Jum’at dengan anggapan hal itu sebagai tabarruk dengan orang shalih tersebut! [3]

12. Shalat sunnah qabliyah Jum’at. (As Sunan wa Al Mubtada’aat 51, Al Madkhal 2/239, dan Al Ajwibah An Nafi’ah 20-33)

13 Membentangkan karpet/kain di atas mimbar pada hari Jum’at. (Al Madkhal 2/268)

14. Menjadikan warna hitam di atas mimbar ketika khutbah. (Al Madkhal 10/166)

15. Kain-kain penutup untuk mimbar. (As Sunan 53)

16. Imam senantiasa memakai warna hitam pada hari Jum’at. (Al Ahya 1/162,165; Al Madkhal 2/266; Syarh Syar’atil Islam 140)

17. Mengkhususkan mengenakan imamah untuk shalat Jum’at dan yang lainnya. [4]

18. Mengenakan khuf karena berkhutbah dan shalat Jum’at. (Al Madkhal 2/266)

19. At-tarqiyxah, yaitu membaca ayat: INNALLAHA WA MALAAIKATAHU YUSHALLUNA ‘ALANNABIY… (Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi…)

20. Kemudian (membaca hadits): IDZAA QULTA LISHAAHIBIKA… (Bila engkau berbicara kepada sebelahmu…) Para mu’adzin mengeraskan pembacaannya ketika khatib telah keluar hingga sampai ke mimbar! [5] (Al Madkhal 2/266; Syarh Thariqah Al Muhammadiyyah 1/114,115, dan 4/323; Al Manar 5/951, 19/541; dan Al Ibda’ 75; serta As Sunan 24)

21 Menjadikan tangga mimbar lebih dari tiga. [6]

22. Berdirinya imam di tingkatan dasar mimbar sambil berdoa. (Al Ba’its 64)

24. Membacakan syair-syair pujian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ketika khatib naik mimbar atau sebelumnya. (Al Manar 31/474)

25. Khatib mengetukkan ujung pedang atau tongkatnya ke tingkatan mimbar ketika menaikinya. (Al Ba’its 64, Al Madkhal 2/267, Ishlah Al Masajid 48 cetakan kami, Al Manar 18/558)

26. Para mu’adzin bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam setiap kali khatib mengetuk mimbar. (Al Madkhal 2/250, 167)

27. Pimpinan para mu’adzin naik mimbar mengiringi khatib meskipun ia duduk di bawahnya, dan ucapannya: AAMIN ALLAHUMMA AAMIN, GHAFARALLAHU LIMAN YAQUL AAMIN, ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAIH (Ya Allah kabulkanlah, dan ampunilah untuk orang yang mengucapkan amin, ya Allah berikanlah shalawat kepadanya). (Al Madkhal 2/268)

28 Imam sibuk melakukan doa ketika naik mimbar dengan menghadap kiblat sebelum ia menghadap ke arah orang-orang dan mengucap salam kepada mereka. (Al Ba’its: 64, Al Madhkhal: 2/267, Ishlah Al Masajid: 48 dan Al Manar: 558) [7]

29. Khatib tidak mengucapkan salam ketika keluar menuju mereka. (Al Madkhal: 22/166)

30. Adzan kedua di dalam masjid di hadapan khatib. (Al I’tisham karya Asy Syatibi: 2/207-208, Al Manar: 19/540, dan Al Ajwibah An Nafi’ah: 11-31)

31. Adanya dua muadzin di hadapan khatib yang ada pada sebagian masjid jami’, salah satu dari mereka berdiri di depan mimbar dan muadzin kedua di atas mimbar yang tinggi, muadzin yang pertama menuntun yang kedua lafal-lafal adzan. Muadzin pertama mengucapkannya secara pelan kemudian muadzin kedua yang mengeraskannya. (Ishlah Al Masajid ‘an Al Bida’ wa Al ‘Awaa-id: 143)

32. Pemimpin para muadzin menyerukan hadits berikut kepada manusia ketika khatib hendak berkhutbah,

“Wahai manusia telah sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda, ‘Bila engkau mengadakan kepada temanmu: Diamlah, padahal imam sedang berkhutbah pada hari Jum’at, maka engkau telah berbuat yang sia-sia.’ Diamlah semoga Allah merahmati kalian.” (Al Madkhal: 2/268, As Sunan: 24)

33. Perkataan sebagian muadzin di hadapan khatib bila telah duduk dari khutbah pertama: “Semoga Allah mengampuni bagimu dan bagi kedua orangtuamu dan kami, dan juga kedua orang tua kami dan para hadirin.” (Fatawa Ibnu Taimiyah: 1/129 dan Ishlah Al Masajid: 70)

34. Khatib bersandar pada pedang ketika berkhutbah. (As Sunnah: 55)

35. Duduk di bawah mimbar ketika khatib sedang berkhutbah dalam rangka mengharapkan kesembuhan dari sakit. (Al Manar: 7/501-503)

36. Para khatib berpaling (tidak mengamalkan, -admin) dari khutbah hajah, “INNALHAMDA LILLAH NAHMADUHU WA NASTA’INUHU WA NASTAGHFIRUHU…”, dan juga dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dalam khutbah-khutbahnya, “AMMA BA’DU: FA INNAKHAIRAL KALAMI KALAMULLAH.” [8]

37. Berpalingnya mereka dari memberikan peringatan dengan surat QAAF dalam khutbah-khutbah mereka padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam senantiasa melakukannya. (As Sunan: 57) [9]

38. Para khatib senantiasa membaca hadits berikut pada hari Jum’at ketika akhir khutbahnya: “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa.” (As Sunan: 56)

39. Sebagian para khatib di masa sekarang yang mengucapkan salam setelah selesai dari khutbah pertama.

40. Membaca surat Al Ikhlash tiga kali ketika khatib duduk di antara dua khutbah. (As Sunan: 56)

41. Berdirinya sebagian hadirin ketika khutbah kedua untuk shalat tahiyyatul masjid. (Al Manar: 18/559, As Sunan: 51)

42. Doa yang dilakukan orang-orang dan mengangkat kedua tangannya ketika imam/khatib duduk di antara dua khutbah di atas mimbar. (Al Manar: 6/793-794, 18/559)

43. Khatib turun ke tangga mimbar terendah ketika menyampaikan khutbah kedua kemudian kembali. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin: 1/770)

44. Begitu cepatnya mereka dalam khutbah kedua. (Al Manar: 18/858)

45. Menoleh ke kanan dan ke kiri ketika mengatakan: aku perintahkan kalian dan aku larang. Juga ketika shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. (Al Ba’its: 65, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin: 1/759, Ishlah Al Masajid: 48, Al Manar: 18/558)

48. Khatib naik satu tangga ketika shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam kemudian turun lagi ketika telah selesai. (Al Ba’its: 65)

47. Khatib selalu bersajak (melantunkan kalimat yang bersajak atau berirama seperti syair), menyebutkannya tiga kali, empat kali, lima kali dalam aturan mereka dan khutbahnya padahal sajak telah ada larangan tentangnya dalam Ash Shahih. (As Sunan: 75)

48. Kebiasaan yang terus menerus dari mayoritas khatib membawakan hadits: “Sesungguhnya Allah pada setiap malam dari bukan Ramadhan memiliki 600.000 orang yang dibebaskan dari neraka. Bila telah berada pada akhir malam maka Allah akan membebaskan (dari neraka) sejumlah orang yang telah dibebaskan sebelumnya.” [10]
Yaitu senantiasa dibaca pada akhir khutbah Jum’at bulan Ramadhan atau khutbah ‘Idul Fithri padahal hadits ini adalah hadits yang batil. [11)

49. Tidak melakukan shalat tahiyyatul masjid karena imam sedang berkhutbah pada hari Jum'at. (Al Muhalla karya Ibnu Hazm: 5/69)

50. Sebagian khatib menghentikan khutbah untuk melarang orang yang masuk masjid dan hendak shalat tahiyyatul masjid dari shalat tersebut! Hal ini menyelisihi hadits Nabi shallallahu 'alaihi wassalam dan perintahnya untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid. [12]

51. Menjadikan khutbah kedua kosong dari penyampaian peringatan, pengarahan, pengingatan, dan dorongan. Dan mengkhususkannya dengan shalawat kepada Nabi dan doa. (As Sunan: 56, Nuur Al Bayan fi Kasyf ‘an Bida’ Akhiriz zaman: 445)

52. Khatib berlebih-lebihan dalam meninggikan suara ketika shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melebihi kebiasaannya ketika menyampaikan isi khutbah yang lain. (Al Ba’its: 65)

53.Berlebihan dalam mengangkat suara untuk bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam ketika khatib membaca: “INNALLAHA WA MALAAIKATAHU YUSHALLUU ‘ALAN NABIY (Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi).” (Bujairami: 2/189)

54. Teriakan yang dilakukan oleh sebagian dari mereka ketika disebut Nama Allah atau nama sebagian orang shalih dalam khutbah. (18/559)

55. Menghadirkan di hadapan khatib orang kafir yang baru masuk Islam pada pekan itu, yaitu ketika ia di atas mimbar agar mengucapkan masuknya ia ke dalam Islam di hadapan orang-orang. Kemudian khatib menghentikan khutbahnya karena hal ini. (2/171)

56. Para khatib senantiasa menyebutkan para khalifah, raja, dan sultan dalam khutbah kedua dengan tanghim [13] (dendangan). (Al I’tisham: 17-18 dan 2/177, Al Manar: 6/139 dan 18/305 dan 558, 31/55)

57. Doa khatib untuk orang-orang yang berperang dan yang berjaga-jaga di perbatasan. (Al I’tisham: 1/18)

58. Para muadzin mengangkat suara untuk mendoakan para penguasa dan memanjangkannya sedangkan khatib terus melanjutkan khutbahnya. [14] (Al Manar: 18/558, As Sunan: 25)

59. Khatib berdiam sejenak ketika berdoa di atas mimbar agar diaminkan oleh muadzin. (Syarh Ath Thariqah Al Muhammadiyyah: 3/323)

60. Muadzin mengaminkan doa khatib untuk para sahabat dengan radhiyallahu ‘anhum dan untuk para penguasa agar dapat pertolongan. (Syarh Ath Thariqah Al Muhammadiyyah: 3/323)

61. Melagukan (tarannum) ketika berkhutbah. (Al Ibda’: 27)

62. Khatib mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. [15]

63. Para jamaah mengangkat tangan dalam rangka mengaminkan doa khatib. [17] (Al Ba’its: 64 dan 65)

64. Senantiasa menutup khutbah dengan membawakan ayat: “INNALLAHA YA’-MURUKUM BIL ADL WAL IHSAN (Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan berbuat baik).”
Atau dengan firman Allah: “UDZKURULLAHA YADZ KURUKUM (Dan ingatlah Allah, Allah akan mengingatmu).” (Al Madkhal: 2/271 dan As Sunan: 57)

65. Memanjangkan khutbah dan memendekan shalat. [17]

66. Mengusap pundak dan punggung khatib ketika turun dari mimbar. (Al Ibda’: 79, Ishlahul Masajid: 72, As Sunan: 54, dan Nuurul Bayan: 44)

67. Mimbar besar yang mereka masukkan ke dalam rumah bila khatib selesai berkhutbah. (Al Madkhal: 2/212)

68. Penghitungan jumlah jamaah di masjid-masjid kecil pada hari Jum’at untuk dilihat apakah jumlahnya mencapai 40 orang.

6w. Mendirikan shalat Jum’at di masjid-masjid kecil. (Ishlahul Masajid: 59) [18]

70. Imam mulai shalat sebelum shaf makmum lurus. (Ishlah: 92-93)

71. Mencium tangan setelah shalat Jum’at. (Ishlah Al Masajid: 92)

72. Perkataan mereka setelah Jum’at, “YATAQABBALALLAH MINNA WA MINKUM” [19] (Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian). (As Sunan: 54)

73. Shalat Zhuhur setelah shalat Jum’at. [20] (As Sunan: 10, 123, Ishlah Al Masajid: 49-53, Al Manar: 23/259, 497 dan 34/120)

74. Sebagian wanita berdiri di depan pintu masjid pada hari Jum’at dengan membawa bayinya. Bayi-bayi itu masih merangkak dan belum berjalan. Kedua ibu jari kaki bayi diikatkan padanya tali, kemudian meminta kepada orang yang pertama kali keluar untuk memutuskannya. Para wanita itu menyangka (perbuatan ini) nantinya anak akan terlepas dan berjalan di atas kedua kakinya setelah dua pekan semenjak amalan ini!

75. Sebagian dari mereka berdiri di depan pintu dengan membawa segelas air di tangannya agar orang-orang yang keluar dari masjid meludah ke gelas itu satu persatu, yaitu untuk mendapatkan barakah dan pengobatan!

Dan inilah akhir dari bid’ah-bid’ah Jum’at.

Alhamdulillah. Wash shalatu was salam ‘ala man laa nibiyya ba’dah.

Catatan kaki:

[1] Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dalam Al Mushannaf (1/205/1) dari Shalih bin Kaisan bahwa Abu ‘Ubaidah keluar pada hari Jum’at pada sebagian perjalanannya dan tidak menunggu shalat Jum’at. Dan sanad riwayat ini adalah jayyid (bagus).
Ibnu Abi Syaibah, Al Imam Muhammad bin Al Hasan dalam As Sair Al Kabir (1/50- dengan syarahnya), dan Al Baihaqi (3/187) dari Umar bahwa beliau berkata, “Hari Jum’at tidak menjadi penghalang safar,” dan sanadnya adalah shahih. Kemudian Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan yang seperti itu dari sekelompok salaf. Adapun hadits,
“Barang siapa yang bersafar pada pagi hari Jum’at setelah fajar maka kedua malaikat yang menyertainya mendoakan kejelekan untuknya.”
Hadits ini adalah dha’if (lemah) sebagaimana yang telah aku (Al Albani) terangkan dalam Al Ahadits Adh Dha’ifah (216-217).
Adapun perkataan Asy Syaikh Al Bujairami dalam Al Iqna’ (2/177) bahwasanya hadits itu shahih, maka merupakan perkataan yang tidak memiliki sisi kebenaran sama sekali, terlebih beliau bukan termasuk dalam ulama ahli hadits sehingga tidak boleh tertipu olehnya.
[Peringatan] pembaca yang mulia akan melihat sebentar lagi di antara bid’ah yang tidak pernah disebutkan oleh sumber-sumber dari buku-buku para ulama. Hal ini sebagai isyarat dari saya bahwa saya belum mendapati ulama yang menyatakan atas bid’ahnya namun ushul bid’ah dan kaidahnya mengharuskan kebid’ahannya. Dan terkadang saya menyebutkan dalam catatan kaki sebagian nash yang menunjukkan hal itu sebagaimana yang aku tunjukkan dalam bid’ah pertama ini. Dan hendaklah hal ini senantiasa diingat.

[2] Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Al Fatawa (2: 39), “Yang seperti ini adalah perkara yang dilarang berdasar kesepakatan ulama.”

[3] Al Bajuri (1/227) berkata, “Tidak dimakruhkan bagi imam dan orang shalih untuk melangkahi pundak-pundak orang karena keduanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk bertabarruk. Juga orang-orang tidak merasa tersakiti karena dilangkahi olehnya. Dan sebagian orang memasukkan kepada golongan orang shalih orang besar meskipun dalam perkara dunia karena orang-orang merelakan untuk dilangkahi dan merasa tidak tersakiti!”

[4] Aku (Al Albani) mengatakan bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan shalat mengenakan imamah adalah tidak ada yang sah satupun sebagaimana telah aku terangkan dalam Al Hadits Adh Dha’ifah (127).

[5] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al Ikhtiyarat hal. 48, “Yang demikian adalah perkara yang dibenci atau haram berdasar kesepakatan.”
Aku (Al Albani) katakan, “Hendaklah jangan terpedaya dengan istihsan (anggapan baik) penulis Al Ba’its hal. 65 untuk bid’ah ini karena yang seperti ini adalah ketergelinciran seorang yang berilmu.”

[6] Adapun yang dikatakan bahwa Muawiyah adalah orang yang menjadikan tingkatan mimbar menjadi 15 sebagaimana yang disebutkan oleh penulis At Taratib Al Idariyyah (2/440) adalah perkataan yang tidak benar adanya. Sedangkan penyampaian dengan menggunakan bentuk qiila (dikatakan) memgesankan yang demikian ini (ketidakbenarannya, -pen).
Di antara bahaya dari bid’ah ini adalah mimbar akan memutus shaf. Dan sebagian penanggung jawab masjid telah tersadarkan kepada hal ini kemudian menggantinya dengan cara yang baru, seperti menjadikan tangga terletak di sisi dinding, dan yang semacamnya. Kalau saja mereka mengikuti sunnah maka sungguh mereka tidak kepayahan.

[7] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al Ikhtiyarat 148, “Doanya seorang imam ketika naik mimbar tidak ada asalnya.”

[8] Lihat hal. 104-110 dari risalah ini.

[9] Lihat hal. 104-110 dari risalah ini.

[10] Dikatakan demikian oleh Ibnu Hibban dalam Al La-ali Al Mashnu’ah karya As Suyuthi.

[11] Lihat hal. 111-114 dari risalah ini.

[12] Ibnu Al Hajj menyebutkan dalam Al Madkhal (2/270) hal yang senada dengan ini, namun ia mengatakan bahwa yang demikian ini masuk dalam perkara yang dianjurkan bukan dari bagian bid’ah. Ia (Ibnu Al Hajj) telah salah dalam hal ini karena kita tidak mengetahuh adanya seorang pun dari kalangan salaf yang melakukannya baik dari kalangan shahabat maupun dari kalangan tabi’in maupun yang selain mereka.

[13] Ibnu ‘Abidin menyatakan dalam Al Hasyiyah (1/769) makruhnya hal itu, yaitu makruh yang di haramkan.

[14] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al Ikhtiyarat Al Ilmiyah 48, “Dimakruhkan bagi imam mengangkat kedua tangan ketika berdoa dalam khutbah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mencukupkan dengan telunjuknya bila berdoa.”

[15] Aku (Al Albani) katakan, “Ibnu ‘Abidin menyebutkan dalam Al Hasyiyah (1/768) bahwa mereka bila melakukan hal itu maka berdosa menurut pendapat yang benar.”

[16] Aku (Al Albani) katakan, “Karena yang sunnah adalah memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah sebagaimana telah lalu pada hal. 108-110. Sehingga perkara yang menjadi kebalikannya sebagaimana kebiasaan para khatib pada masa sekarang tidak diragukan lagi sebagai bid’ah. Dan telah ada dalam Ad Durr Al Mukhtar (1/758, catatan kaki) yang teksnya adalah sebagai berikut, ‘Dan dimakruhkan menambah panjangnya dua khutbah melebihi kadar panjangnya surat-surat terpanjang dari surat-surat pendek’.”

[17] Aku (Al Albani) katakan: Al Qasimi rahimahullahu memiliki pembahasan yang penting sekali beliau menerangkan di dalamnya Khurujul jumu’ah ‘an maudhi’iha bi katsrati ta’addudiha hal. 51 pada cetakan kami. As subki juga memiliki risalah tentang masalah ini dengan judul Al I’tisham bil Wahid Al Ahad min Iqamati Jumu’atain fi Al Balad. Beliau mengatakan di dalamnya, “Berbilangnya penegakan shalat Jum’at tanpa adanya kebutuhan merupakan perkara yang mungkar yang (tingkat kemungkaran ini) telah diketahui secara spontan dalam agama Islam,” (j: 1/hal. 190) yaitu dari Fatawa beliau. Al Qasimi mengakhiri pembahasannya dengan mengatakan, “Hendaklah ditinggalkan pengadaan shalat Jum’at di setiap masjid kecil sama saja masjid itu terletak di antara perumahan atau di tepi jalan. Dan pada setiap masjid yang besar juga telah mencukupi dari selainnya. Dan hendaklah setiap warga lingkungan yang besar bergabung kepada masjid jami’nya yang terbesar. Dan kita juga mewajibkan setiap lingkungan yang besar seperti desa sebagai batasannya sehingga sudah mencukupi dari membuat banyaknya masjid. Dan akan tampaklah syi’ar dalam masjid-masjid jami’ yang mampu menampung (seluruh warganya) dalam keadaan tidak ada yang menandinginya sehingga keluarlah mereka dari masalah berbilangnya shalat Jum’at.”
Aku (Al Albani) katakan bahwa inilah yang benar yang akan dipahami oleh setiap orang mendalami As Sunnah dan memperhatikan keberadaan shalat Jum’at dan jamaah pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana aku telah memberikan peringatan untuk hal ini ketika membicarakan masalah ini pada halaman 90-92 dari kitab Ahkam al Jumu’ah (terjemah ini, ed.). Dan hanya Allah yang bisa memberikan taufik.

[18] Aku (Al Albani) katakan bahwa adapun hadits,
“Barangsiapa yang berjumpa dengan saudaranya ketika telah selesai dari shalat Jum’at kemudian mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (semoga Allah menerima dariku dan darimu),’ maka yang demikian ini adalah suatu kewajiban yang telah kalian tunaikan kepada Rabb kalian.”
As Suyuthi membawakannya dalam Dzail Al Ahadits Al Maudhu’ah, beliau mengatakan (hal. 111) bahwa dalam sanadnya ada perawi bernama Nahsyal (yakni Ibnu Sa’id, diriwayatkan telah didustakan oleh Ishaq bin Rahuyah sebagaimana dalam Taqrib At Tahdzib) dan ia seorang kadzdzab (pendusta).

[19] Asy Syaikh Mushthafa Al Ghalayaini memiliki risalah yang bermanfaat dalam masalah ini yang berjudul Al Bid’ah fi Shalat Azh Zhuhur ba’da Al Jumu’ah diterbitkan dalam Majalah al Manar dalam beberapa edisi, lihat 7/941-948, 8/24-29). Dan sepertinya telah disendirikan dalam satu risalah tersendiri.

Sumber: Tuntunan Shalat Jum’at karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (penerjemah: Fathul Mujib bin Bahruddin), penerbit: Gema Ilmu, cet. Kedua, Syawal 1429 H – 2008, hal. 123-135.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar