Minggu, 26 Juni 2011

kriteria imam shalat tidak berhak mengimami jamaah

Tentunya seseorang yang tidak memenuhi kriteria imam shalat tidak berhak mengimami jamaah. Selain itu ada pula beberapa faktor yang menjadikan seseorang tidak boleh menjadi imam shalat, atau minimal hukumnya makruh. Berikut ini beberapa orang yang tidak berhak menjadi imam shalat.
1. Imam yang Tidak Disukai Kebanyakan Jamaah Shalat
Paling tidak hukumnya adalah makruh, berdasarkan hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Ada tiga jenis orang yang shalatnya hanya sampai ke batas telinganya saja: Hamba sahaya (yang minggat) hingga ia pulang. Wanita yang tidur sementara suaminya dalam keadaan marah kepadanya. Imam shalat yang dibenci oleh jamaahnya.”
[1]
Dari Amru bin Al-Harits bin Al-Mushthaliq diriwayatkan bahwa ia menceritakan: “Ada diriwayatkan bahwa orang yang berat siksanya di hari Kiamat nanti ada dua: wanita yang membangkang terhadap suaminya dan imam yang dibenci oleh jamaahnya.” [2]
At-Tirmidzi rahimahullahu menandaskan: “Sebagian ulama menganggap makruh seseorang menjadi imam bila jamaahnya tidak menyukainya. Kalau imamnya sendiri tidak berbuat zhalim, dosanya ditanggung oleh orang yang membencinya.” Ahmad dan Ishaq menegaskan: “Bila yang membencinya hanya satu, dua atau tiga orang saja, boleh saja ia tetap menjadi imam. Kecuali bila yang membencinya adalah mayoritas jamaah shalat.” [3]
Imam Asy-Syaukani menyatakan: “Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya (imam yang tidak disukai jamaahnya) adalah haram, sementara sebagian ulama lain menyatakan makruh. Namun sebagian ulama membatasi bila ketidaksukaan itu adalah dalam persoalan agama, berdasarkan alasan yang disyariatkan. Adapun ketidaksukaan yang bukan karena faktor agama tidaklah dijadikan ukuran. Demikian juga mereka membatasi bahwa ketidaksukaan satu orang, dua atau tiga orang, tidak bisa dijadikan ukuran kalau jumlah makmumnya banyak. Namun kalau jumlah makmumnya memang hanya dua atau tiga orang saja, maka ketidaksukaan mereka sama dengan ketidaksukaan mayoritas jamaah sehingga bisa dijadikan ukuran. Akan tetapi yang dijadikan ukuran tetap ketidaksukaan dalam hal agama saja.” [4]
At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan: Hannad berkata: Ibnu Jarir berkata: Al-Manshur menceritakan: Kami pernah bertanya tentang imam dalam hadits itu. Jawabannya: bahwa yang dimaksud dalam hadits itu adalah para imam yang zhalim. Adapun orang yang menjadi imam dengan menegakkan sunnahnya dosa membencinya ditanggung oleh orang yang membencinya tersebut.” [5]
Syaikh kami Imam Ibnul Baz rahimahullahu menyatakan: “Para ulama rahimahumullahu menjelaskan bahwa ketidaksukaan para makmum dalam hadits itu perlu dirinci: Yang dimaksud oleh Nabi dengan ketidaksukaan para makmum itu adalah pada tempatnya yang dibenarkan. Tetapi kalau mereka tidak menyukainya karena ia menjalankan sunnah, atau karena ia melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada tempat bagi mereka untuk membencinya. Kesimpulan ini diambil dari berbagai dalil syar’i. Sementara kalau mereka tidak menyukainya karena kedengkian di antara mereka, atau karena si imam fasik, memberatkan mereka, atau tidak memperhatikan shalat atau tidak rutin melaksanakan shalat jamaah, maka tidak layak ia menjadi imam mereka, karena itu termasuk dalam ancaman yang tersebut dalam hadits-hadits yang ada.” [6]
2. Imam yang Berkunjung
Ia dilarang menjadi imam, kecuali dengan izin para makmumnya berdasarkan hadits Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang datang berkunjung ke satu tempat, janganlah ia mengimami mereka. Hendaknya yang menjadi imam adalah salah seorang di antara mereka saja.”
Imam at-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan: “Pendapat ini diamalkan oleh para ulama dari kalangan para sahabat Nabi dan yang lainnya. Mereka menyatakan: “Pemilik rumah atau tempat tinggal lebih berhak menjadi imam daripada tamunya.” At-Tirmidzi melanjutkan: “Sebagian ulama berpendapat: Kalau diizinkan, boleh saja tamu menjadi imam.” [7] Sementara Abul Barakat Ibnu Taimiyah menegaskan: “Sebagian besar ulama berpendapat boleh saja seorang tamu menjadi imam bila diizinkan oleh pemilik tempat tinggal.” [8] Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “…kecuali bila diizinkan oleh para makmum…” [9]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda:
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk shalat dalam keadaan menahan buang air, sehingga keinginan buang airnya mereda.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Dan tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk mengimami sekelompok orang tanpa izin mereka. Dan janganlah ia mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan orang lain…. [10] Kalau ia melakukan hal itu juga berarti ia telah berkhianat kepada mereka.” [11]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Arti yang tersebut dalam hadits: “..kecuali dengan izin mereka,” menunjukkan diperbolehkannya seorang tamu menjadi imam bila diizinkan pemilik tempat yang dikunjungi.
Al-Iraqi menegaskan: Namun syaratnya bahwa orang yang dikunjungi memang layak menjadi imam. Tetapi kalau tidak, misalnya ia seorang wanita dalam kasus tamunya laki-laki. Atau tuan rumahnya buta aksara, sementara tamunya pandai membaca Al-Qur’an. Dalam kedua kasus tersebut, tuan rumah memang tidak berhak menjadi imam.” [12]
Kami juga pernah mendengar Syaikh Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menegaskan: “Dalam hadits Abu Mas’ud disebutkan pada akhirnya:
“Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain itu di tempat duduk khususnya (kehormatannya) tanpa seizinnya.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang berkunjung ke sekelompok orang, tidak boleh mengimami mereka dalam shalat, sebagaimana dalam hadits Malik bin Al-Huwairits, meskipun sanadnya mengandung kelemahan, karena hadits Abu Mas’ud ini shahih. Tamu tidak berhak menjadi imam kecuali dengan izin tuan runah (para makmumnya), di masjid atau di rumah mereka. Bila datang waktu shalat, maka yang berhak menjadi imam adalah tuan rumah. Kalau dilakukan di masjid, maka orang yang diangkat adalah yang imam rutin. Tidak boleh dilangkahi oleh siapapun, meskipun tamu yang datang lebih alim dan lebih tua usianya, kecuali kalau tuan rumah mengizinkan dan mengajukannya sebagai imam. Bila demikian, maka boleh-boleh saja. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Kecuali dengan izinnya…”
Adapun hadits: “Barangsiapa yang mengunjungi sekelompok orang,” kalaupun memang shahih, maka ditafsirkan bila itu dilakukan tanpa izin tuan rumah. Hadits tersebut didukung oleh berbagai hadits lain. Sebagian orang terkadang memberikan izin karena malu atau segan. Oleh sebab itu, hendaknya si tamu tidak terburu-buru maju menjadi imam, sampai tuan rumah betul-betul mendesaknya atau bahkan memaksanya.” [13]
3. Orang yang Mengimami Jamaah Sebelum Datang Imam Rutinnya
Hukumnya tidak boleh, kecuali bila imam rutinnya terlambat datang dari waktu yang ditentukan, atau dengan izinnya. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya…” [14]
Maka tidak dibolehkan seseorang mengimami jamaah masjid yang memiliki imam rutin kecuali dengan izin si imam, misalnya dengan mengatakan: “Imamilah jamaah masjid ini.” Atau dengan mengatakan kepada jamaah: “Kalau saya terlambat dari waktu yang ditentukan, silakan shalat terlebih dahulu.”
Kalau imam betul-betul terlambat sekali, boleh saja jamaah mengajukan orang lain sebagai imam berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu [15] dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak hadir. Maka beliau bersabda: “Sungguh bagus apa yang kalian lakukan..” [16]
Adapun bila seseorang mengimami jamaah sebelum datang imamnya tanpa izin imam dan kondisi imam tidak berhalangan, ada yang berpendapat bahwa shalatnya tidak sah sehingga harus diulang bersama imam yang sesungguhnya. Ada juga yang berpendapat bahwa hukumnya sah tetapi berdosa, dan inilah pendapat yang benar. Karena asal dari shalat jamaah itu sah, kecuali bila ada dalil yang menegaskan kebatalannya. [17]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Kitabush Shalah, bab: Riwayat tentang orang yang mengimami satu kaum yang membencinya, hadits nomor 360. At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan gharib.” Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi III: 128, dan beliau berkomentar: “Sanadnya kuat.” Al-Mundziri menyebutkannya dalam At-Targhib wat Tarhib. Beliau menyebutkan pernyataan At-Tirmidzi yang menghasankannya dan beliau mengakui kebenaran pernyataan tersebut I: 382. Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib I: 228, dan hadits itu memiliki penguat dari hadits Thalhah dalam Shahih At-Targhib I: 228. Demikian juga dari hadits Adz-Dzuhali I: 228, dan hadits ini memiliki beberapa hadits penguat: dari Anas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan nomor 358. Dari Abdullah bin Amru diriwayatkan oleh Abu Daud dengan nomor 593. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan nomor 970. Juga dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan nomor 971. Hadits tersebut dinyatakan shahih oleh Ahmad Syakir dalam Syarah-nya terhadap Sunan At-Tirmidzi II: 193. Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi II: 348 menandaskan: “An-Nawawi menegaskan dalam Al-Khulashah: “Yang paling tepat di sini adalah pendapat At-Tirmidzi. Al-Albani menyatakan hadits hasan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi I: 113. Al-Imam Asy-Syaukani menegaskan dalam Nailul Authar II: 417: “Hadits-hadits dalam persoalan ini saling menguatkan yang satu dengan yang lain.”
[2] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Ash-Shalah, bab: Riwayat tentang orang yang mengimami sekelompok orang yang membenci mereka, dengan nomor 359. Al-Albani menyatakan dalam Shahih Sunan Abu Daud I: 113: “Sanadnya shahih.”
[3] Sunan At-Tirmidzi hal. 97.
[4] Lihat Nailul Authar oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullahu II: 417-418. Lihat juga Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu hal. 106. Beliau menyatakan: “Kalau seandainya ada permusuhan antara imam dan makmum seperti layaknya permusuhan antara ahli bid’ah atau antara penganut madzhab yang berbeda, maka tidak layak orang tersebut menjadi imam. Karena tujuan dari jamaah shalat adalah penyatuan hati. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dan janganlah kalian berselisih sehingga hati kalian pun berselisih.” (Diriwayatkan oleh Muslim nomor 432) Kalau ia terus menjadi imam, berarti ia telah menggabungkan antara yang wajib dengan yang haram dalam shalat, sehingga jamaahnya tidak diterima. Karena shalat yang diterima adalah yang mendapatkan pahala.” Hal. 106-107. Lihat Hasyiah Ibnu Qasim terhadap Ar-Raudhul Murbi’ II: 327 dan juga Asy-Syarhul Mumti’ oleh Muhammad Shalih Al-Utsaimin IV: 353, 355.
[5] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Ash-Shalah, bab: Riwayat tentang orang yang mengimami sekelompok orang yang tidak menyukainya, setelah hadits nomor 359. Lihat juga Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah III: 171.
[6] Kami mendengarnya langsung dari beliau ketika beliau menjelaskan Muntaqal Akhbar oleh Abul Barakat Ibnu Taimiyah, hadits nomor 1456, 1457.
[7] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi setelah hadits nomor 356. Telah ditakhrij sebelumnya.
[8] Al-Muntaqa Min Akhbaril Musthafa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu setelah hadits nomor 1422.
[9] Diriwayatkan oleh Muslim dengan nomor 673. Telah ditakhrij sebelumnya pada bab: orang yang paling berhak menjadi imam.
[10] Arti “tidak mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan orang lain”, yakni para makmum yang shalat di belakangnya, seperti doa qunut dan yang lainnya. Wallahu a’lam. Demikian yang telah kami dengar dari Syaikh Ibnu Baz.
[11] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Ath-Thaharah, bab: Bolehkah seseorang menjadi imam dalam keadaan menahan buang air…
[12] Nailul Authar oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullahu II: 394.
[13] Kami mendengarnya langsung dari beliau, ketika beliau menjelaskan Al-Muntaqa Min Akhbari Mushthafa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, hadits nomor 1414, 1422.
[14] Diriwayatkan oleh Muslim dengan nomor 673. Telah ditakhrij sebelumnya pada bab: Orang yang paling berhak menjadi imam.
[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan nomor 684. Diriwayatkan oleh Muslim nomor 421. Telah ditakhrij sebelumnya pada Bab: Yang paling berhak menjadi imam.
[16] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan nomor 182. Diriwayatkan oleh Muslim dengan nomor 274. Telah ditakhrij sebelumnya pada bab: Shalat jamaah.
[17] Lihat Ar-Raudhul Murbi’ dengan Hasyiyah Abil Qasim II: 267-268 dan juga Asy-Syarhul Mumti’ oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin IV: 218, serta Majmul Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu XII: 143.
Referensi: Imam dalam Shalat Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah karya Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, penerjemah: Abu Umar Basyir, penerbit: Pustaka An-Najiyah, Jkt. Cet. 1 Dzulhijjah 1423 H / Februari 2003, hal. 44-51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar